1. Bapak Palang Merah
Anak PMR pasti sudah tidak asing lagi dengan tokoh berikut ini. Beliau adalah Jean Henry Dunant yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant
lahir 8 Mei 1828 – meninggal 30 Oktober 1910 pada umur 82 tahun, adalah
pengusaha dan aktivis sosial warga negara Swiss juga dikenal sebagai
Bapak Palang Merah Dunia.
Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon.
Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya
aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang menjalani bebas
bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu orang
sakit dan kaum miskin.
Ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan Kolese Kalvin (Collège
Calvin) karena prestasi akademisnya buruk. Dia kemudian menjadi pekerja
magang di perusahaan penukaran uang bernama Lullin et Sautter.
Pada tahun 1859 Jean Henri Dunant melakukan perjalanan untuk urusan
bisnis. Dunant tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859,
tepat ketika pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai.
Dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi
yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Perang mengerikan antara
pasukan Prancis dan Italia melawan pasukan Austria di Solferino, Italia
Utara pada tanggal 24 Juni 1859.
Tidak kurang 40.000 tentara terluka menjadi korban perang, sementara
bantuan medis tidak cukup merawat korban sebanyak itu. Tergetar
penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bersama penduduk setempat
mengerahkan bantuan menolong mereka.
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan menulis
sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri judul Un
Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini diterbitkan pada
tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas biaya Dunant
sendiri.
Henry Dunant mengajukan 2 gagasan. Pertama, membentuk organisasi
kemanusiaan internasional yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa
damai untuk menolong prajurit yg terluka di medan perang. Kedua,
mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera
dan sukarelawan serta organisasinya yang menolong saat terjadinya
perang
Semangat Henry Dunant inilah yang mengilhami terbentuknya Perhimpunan
Nasional Palang Merah Nasional yang didirikan hampir di setiap negara di
seluruh dunia berjumlah 176 perhimpunan nasional.
Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang
pertama, bersama dengan Frédéric Passy. Dalam surat wasiatnya, dia
mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di
panti jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga
miskin kawasan itu.
Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada
teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss.
Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah Sedunia
(''World Red Cross Day''). Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya
itu sekarang menjadi Museum Henry Dunant.
Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Sesaat sebelum Dunant
menghembuskan nafas terakhirnya, ia masih memperjuangkan tentang
kemanusiaan. Kata-kata terakhirnya ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?”
2. Ibu Palang Merah
Florence Nightingale lahir di Firenze, Italia pada tanggal 12 Mei 1820 dan dibesarkan dalam keluarga yang berada. Namanya diambil dari kota tempat ia dilahirkan. Nama depannya, Florence merujuk kepada kota kelahirannya, Firenze dalam bahasa Italia atau Florence dalam bahasa Inggris.
Semasa kecilnya ia tinggal di Lea Hurst, sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya, William Nightingale yang merupakan seorang tuan tanah kaya di Derbyshire, London, Inggris. Sementara ibunya adalah keturunan ningrat dan keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence Nightingale memiliki seorang saudara perempuan bernama Parthenope.
Pada masa remaja mulai terlihat perilaku mereka yang kontras dan Parthenope hidup sesuai dengan martabatnya sebagai putri seorang tuan tanah. Pada masa itu wanita ningrat, kaya, dan berpendidikan aktivitasnya cenderung bersenang-senang saja dan malas, sementara Florence lebih banyak keluar rumah dan membantu warga sekitar yang membutuhkan.
Semasa kecilnya ia tinggal di Lea Hurst, sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya, William Nightingale yang merupakan seorang tuan tanah kaya di Derbyshire, London, Inggris. Sementara ibunya adalah keturunan ningrat dan keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence Nightingale memiliki seorang saudara perempuan bernama Parthenope.
Pada masa remaja mulai terlihat perilaku mereka yang kontras dan Parthenope hidup sesuai dengan martabatnya sebagai putri seorang tuan tanah. Pada masa itu wanita ningrat, kaya, dan berpendidikan aktivitasnya cenderung bersenang-senang saja dan malas, sementara Florence lebih banyak keluar rumah dan membantu warga sekitar yang membutuhkan.
Pada usia dewasa Florence yang lebih cantik dari kakaknya, dan
sebagai seorang putri tuan tanah yang kaya, mendapat banyak lamaran
untuk menikah. Namun semua itu ia tolak, karena Florence merasa
"terpanggil" untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Pada tahun 1851, kala menginjak usia 31 tahun, ia dilamar oleh Richard Monckton Milnes seorang penyair dan seorang ningrat (Baron of Houghton), lamaran inipun ia tolak karena ditahun itu ia sudah membulatkan tekad untuk mengabdikan dirinya pada dunia keperawatan.
Perang Krimea
Pada 1854 berkobarlah peperangan di Semenanjung Krimea. Tentara Inggris bersama tentara Perancis berhadapan dengan tentara Rusia. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran, namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit dan luka-luka.
Keadaan memuncak ketika seorang wartawan bernama William Russel pergi ke Krimea. Dalam tulisannya untuk harian TIME ia menuliskan bagaimana prajurit-prajurit yang luka bergelimpangan di tanah tanpa diberi perawatan sama sekali dan bertanya, "Apakah Inggris tidak memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang mulia ini?".
Hati rakyat Inggrispun tergugah oleh tulisan tersebut. Florence merasa masanya telah tiba, ia pun menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney Herbert, untuk menjadi sukarelawan.
Pada pertemuan dengan Sidney Herbert terungkap bahwa Florence adalah satu-satunya wanita yang mendaftarkan diri. Di Krimea
prajurit-prajurit banyak yang mati bukan karena peluru dan bom, namun
karena tidak adanya perawatan, dan perawat pria jumlahnya tidak memadai.
Ia meminta Florence untuk memimpin gadis-gadis sukarelawan dan Florence
menyanggupi.
Pada tanggal 21 Oktober 1854 bersama 38 gadis sukarelawan yang dilatih oleh Nightingale dan termasuk bibinya Mai Smith, berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal.
Pada tanggal November 1854 mereka mendarat di sebuah rumah sakit pinggir pantai di Scutari. Saat tiba disana kenyataan yang mereka hadapi lebih mengerikan dari apa yang mereka bayangkan.
Beberapa gadis sukarelawan terguncang jiwanya dan tidak dapat
langsung bekerja karena cemas, semua ruangan penuh sesak dengan
prajurit-prajurit yang terluka, dan beratus-ratus prajurit
bergelimpangan di halaman luar tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang
merawat.
Dokter-dokter
bekerja cepat pada saat pembedahan, mereka memotong tangan, kaki, dan
mengamputasi apa saja yang membahayakan hidup pemilik, potongan-potongan
tubuh tersebut ditumpuk begitu saja diluar jendela dan tidak ada tenaga
untuk membuangnya jauh-jauh ke tempat lain. Bekas tangan dan kaki yang
berlumuran darah menggunung menjadi satu dan mengeluarkan bau tak sedap.
Florence diajak mengelilingi neraka tersebut oleh Mayor Prince, dokter kepala rumah sakit tersebut dan menyanggupi untuk membantu.
Ilustrasi Rumah Sakit di Scutari |
Florence melakukan perubahan-perubahan penting. Ia mengatur
tempat-tempat tidur para penderita di dalam rumah sakit, dan menyusun
tempat para penderita yang bergelimpangan di luar rumah sakit. Ia
mengusahakan agar penderita yang berada di luar paling tidak bernaung di
bawah pohon dan menugaskan pendirian tenda.
Penjagaan dilakukan secara teliti, perawatan dilakukan dengan cermat;
- Perban diganti secara berkala.
- Obat diberikan pada waktunya.
- Lantai rumah sakit dipel setiap hari.
- Meja kursi dibersihkan.
- Baju-baju kotor dicuci dengan mengerahkan tenaga bantuan dari penduduk setempat.
Akhirnya gunungan potongan tubuh, daging, dan tulang-belulang
manusiapun selesai dibersihkan, mereka dibuang jauh-jauh atau ditanam.
Dalam waktu sebulan rumah sakit sudah berubah sama sekali, walaupun
baunya belum hilang seluruhnya namun jerit dan rintihan prajurit yang
luka sudah jauh berkurang. Para perawat sukarelawan bekerja tanpa kenal lelah hilir-mudik di bawah pengawasan Florence Nightingale.
Ia juga menangani perawat-perawat
lain dengan tangan besi, bahkan mengunci mereka dari luar pada malam
hari. Ini dilakukan untuk membuktikan pada orang tua mereka di tingkat
ekonomi menengah, bahwa dengan disiplin yang keras dan di bawah
kepemimpinan kuat seorang wanita, anak-anak mereka bisa dilindungi dari
kemungkinan serangan seksual.
Ketakutan akan hal inilah yang membuat ibu-ibu di Inggris menentang anak perempuan mereka menjadi perawat, dan menyebabkan rumah sakit di Inggris ketinggalan dibandingkan di benua Eropa lainnya dimana profesi keperawatan dilakukan oleh biarawati dan biarawati-biarawati ini berada dibawah pengawasan Biarawati Kepala.
Pada malam hari saat perawat lain beristirahat dan memulihkan diri, Florence menuliskan pengalamannya dan cita-citanya tentang dunia keperawatan, dan obat-obatan yang ia ketahui.
Namun, kerja keras Florence membersihkan rumah sakit tidak
berpengaruh banyak pada jumlah kematian prajurit, malah sebaliknya,
angka kematian malah meningkat menjadi yang terbanyak dibandingkan rumah
sakit lainnya di daerah tersebut. Pada masa musim dingin
pertama Florence berada disana sejumlah 4077 prajurit meninggal dirumah
sakit tersebut. Sebanyak 10 kali lipat prajurit malah meninggal karena
penyakit seperti; tipes, tifoid, kolera, dan disentri
dibandingkan dengan kematian akibat luka-luka saat perang. Kondisi di
rumah sakit tersebut menjadi sangat fatal karena jumlah pasien melimpah
lebih banyak dari yang mungkin bisa ditampung, hal ini menyebabkan
sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara memburuk.
Pada bulan bulan Maret 1855, hampir enam bulan setelah Florence Nightingale datang, komisi kebersihan Inggris datang dan memperbaiki sistem pembuangan limbah dan sirkulasi udara, sejak saat itu tingkat kematian menurun drastis.
Namun Florence tetap percaya saat itu bahwa tingkat kematian
disebabkan oleh nutrisi yang kurang dari suplai makanan dan beratnya
beban pekerjaan tentara. Pemikiran ini baru berubah saat Florence
kembali ke Inggris dan mengumpulkan bukti dihadapan Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris (Royal Commission on the Health of the Army),
akhirnya ia diyakinkan bahwa saat itu para prajurit di rumah sakit
meninggal akibat kondisi rumah sakit yang kotor dan memprihatinkan.
Hal ini berpengaruh pada karirnya di kemudian hari dimana ia gigih
mengkampanyekan kebersihan lingkungan sebagai hal yang utama. Kampanye
ini berhasil dinilai dari turunnya angka kematian prajurit pada saat
damai (tidak sedang berperang) dan menunjukkan betapa pentingnya disain
sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara sebuah rumah sakit.
Bidadari berlampu
Pada suatu kali, saat pertempuran dahsyat di luar kota telah berlalu, seorang bintara datang dan melapor pada Florence bahwa dari kedua belah pihak korban yang berjatuhan banyak sekali.
Florence menanti rombongan pertama, namun ternyata jumlahnya sedikit,
ia bertanya pada bintara tersebut apa yang terjadi dengan korban
lainnya. Bintara tersebut mengatakan bahwa korban selanjutnya harus
menunggu sampai besok karena sudah terlanjur gelap.
Florence memaksa bintara tersebut untuk mengantarnya ke bekas medan pertempuran
untuk mengumpulkan korban yang masih bisa diselamatkan karena bila
mereka menunggu hingga esok hari korban-korban tersebut bisa mati
kehabisan darah.
Saat bintara tersebut terlihat enggan, Florence mengancam akan melaporkannya kepada Mayor Prince.
Berangkatlah mereka berenam ke bekas medan pertempuran, semuanya
pria, hanya Florence satu-satunya wanita. Florence dengan berbekal lentera
membalik dan memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan, membawa siapa
saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan, termasuk prajurit Rusia.
Malam itu mereka kembali dengan membawa lima belas prajurit, dua belas prajurit Inggris dan tiga prajurit Rusia.
Semenjak saat itu setiap terjadi pertempuran, pada malam harinya
Florence berkeliling dengan lampu untuk mencari prajurit-prajurit yang
masih hidup dan mulailah ia terkenal sebagai bidadari berlampu yang menolong di gelap gulita. Banyak nyawa tertolong yang seharusnya sudah meninggal.
Selama perang Krimea, Florence Nightingale mendapatkan nama "Bidadari Berlampu". Pada tahun 1857 Henry Longfellow, seorang penyair AS, menulis puisi tentang Florence Nightingale berjudul "Santa Filomena",
yang melukiskan bagaimana ia menjaga prajurit-prajurit di rumah sakit
tentara pada malam hari, sendirian, dengan membawa lampu.
“ | Pada jam-jam penuh penderitaan itu, datanglah bidadari berlampu untukku. | ” |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar